Minggu, 30 Mei 2010

Ikhtila’ (Menyendiri) di Gua Hira




Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah tumbuh pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecendrungan untuk melakukan ‘uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan ikhtila’ (menyendiri) di Gua Hira’ (Hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah barat laut kota Mekkah). Ia menyendiri dan beribadah di gua tersebut selama beberapa malam. Kadang sampai sepuluh malam, dan kadang lebih dari itu, sampai satu bulan.

Kemudian beliau kembali ke rumah sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan ikhtila’-nya di gua Hira’. Demikianlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus melakukannya sampai turun kepadanya wahyu ketika beliau sedang ‘uzlah.

Permulaan Wahyu

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra, menceritakan cara permulaan wahyu, ia berkata : “Wahyu yang diterima oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwat (‘uzlah). Beliau melakukan khalwat di gua Hira’ – melakukan ibadah – selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal.

Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira’. Pada suatu hari datanglah Malaikat lalu berkata, “Bacalah”. Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan lebih lanjut : Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah”. Aku menjawab : “Aku tidak dapat membaca”. Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa tak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah”. Aku menjawab, “Aku tidak membaca”.

Untuk ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan…. . Menciptakan manusia dari segumpal darah…….” dan seterusnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya menemui Khadijah, lalu berkata, “Selimutilah aku… selimutilah aku”. Kemudian beliau diselimuti hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu beliau berkata pada Khadijah, “Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa tadi aku begitu?” Lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya.Selanjutnya beliau berkata : “Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk Jin).”

Siti Khadijah menjawab : “Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”

Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Waraqah bin Naufal, salah seorang anak paman Siti Khadijah. Di masa jahiliyah ia memeluk agama Nasrani. Ia dapat menulis dalam huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang telah lanjut usia dan kehilangan penglihatan. Kepadanya Khadijah berkata :

“Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang akan dikatakan oleh anak lelaki saudaramu (yakni Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Waraqah bertanya kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hai anak saudaraku, ada apakah gerangan?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialami di gua Hira’. Setelah mendengarkan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Waraqah berkata , “Itu adalah Malaikat yang pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab , “Ya.” Tak seorang pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi itu, pasti kubantu kamu sekuat tenagaku.” Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah tidak menerima wahyu.

Terjadi perselisihan tentang berapa lama wahyu tersebut terhenti. Ada yang mengatakan tiga tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa masa terhentinya wahyu tersebut selama enam bulan. 1

Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Bukhari meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang terhentinya wahyu. Beliau berkata padaku :

“Di saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Ketika kepala kuangakat, ternyata Malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’, kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku dan kukatakan padanya, “Selimutilah aku…. Selimutilah aku…. Selimutilah aku!” Sehubungan dengan itu kemudian Allah berfirman, “Hai orang yang berselimut, bangunlah dan beri peringatan. Agungkanlah Rabb-mu, sucikanlah pakaianmu, dan jauhilah perbuatan dosa…”(al-Muddatstsir) . Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara kontinyu.

Oleh : Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar